
Di tengah dinamika demokrasi Indonesia yang semakin terbuka, politik identitas menjadi fenomena yang tak bisa dihindari. Ia muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari narasi agama, etnis, hingga golongan tertentu yang dikapitalisasi untuk meraih simpati politik. Pertanyaannya: apakah politik identitas merupakan ancaman bagi persatuan bangsa, atau justru bagian wajar dari keberagaman yang kita miliki?
Indonesia adalah bangsa yang lahir dari keragaman. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar slogan, melainkan fondasi kehidupan bernegara. Dalam konteks itu, identitas seharusnya menjadi kekayaan, bukan alat untuk membelah. Namun realitanya, dalam kontestasi politik, identitas sering kali dimobilisasi bukan untuk membangun, melainkan untuk memecah. Kita melihat bagaimana sentimen agama, suku, dan latar belakang sosial kerap dijadikan alat kampanye yang tajam dan manipulatif, apalagi saat pemilu.
Politik identitas bisa menjadi ancaman jika digunakan secara eksklusif dan eksploitatif. Ketika satu kelompok merasa lebih unggul dan menganggap kelompok lain sebagai ancaman, lahirlah polarisasi. Ini bukan saja merusak kohesi sosial, tetapi juga menciptakan luka yang sulit disembuhkan dalam kehidupan berbangsa. Contohnya jelas terlihat dalam beberapa pemilu lokal maupun nasional, di mana masyarakat terbelah bukan karena visi misi calon, tetapi karena narasi “kami versus mereka”.
Namun, tidak semua bentuk politik identitas bersifat negatif. Dalam kerangka demokrasi yang sehat, artikulasi identitas bisa menjadi sarana pemberdayaan kelompok-kelompok yang terpinggirkan. Misalnya, keterwakilan perempuan, minoritas agama, atau masyarakat adat dalam politik adalah bagian dari afirmasi identitas yang adil dan inklusif. Di sinilah politik identitas menjadi cermin keberagaman—mengangkat suara-suara yang selama ini tenggelam dalam dominasi mayoritas.
Kuncinya terletak pada bagaimana identitas dikemas dan disampaikan. Jika identitas dijadikan landasan untuk memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan pengakuan hak, maka ia justru memperkaya demokrasi. Tapi jika digunakan untuk memecah belah dan mengklaim kebenaran tunggal, maka ia menjadi virus berbahaya dalam sistem politik yang plural.
Peran elite politik dalam hal ini sangat sentral. Mereka harus mampu menahan godaan menggunakan isu-isu identitas sebagai alat kampanye pragmatis. Edukasi politik yang sehat juga penting agar masyarakat tidak mudah terprovokasi dan tetap fokus pada gagasan, bukan golongan. Di sisi lain, media massa juga harus bertanggung jawab dalam menyajikan informasi yang proporsional dan tidak memperkeruh suasana.
Pada akhirnya, politik identitas bukan hal yang bisa dihapuskan dalam masyarakat yang plural. Namun, tugas kita bersama adalah memastikan bahwa identitas digunakan untuk merajut, bukan merusak. Jika dikelola dengan bijak, politik identitas dapat menjadi cermin indah dari keberagaman Indonesia—bukan ancaman yang meretakkan fondasi bangsa.
Kolomnis: Zahra Asyidda